Pulang Pisau, Kalimantan Tengah – Nama Murti Eka Susilawati, S.Pd. (44), tak asing lagi di kalangan pegiat pendidikan Kabupaten Pulang Pisau. Mengapa demikian? Ia memang seorang guru di SMAN 1 Kahayan Hilir, namun bukan hanya itu jawabannya.
2010 menandai awal mula langkah perempuan yang kerap disapa Bu Murti ini bergabung dengan sanggar "Antang Tabela". Sanggar ini adalah salah satu eksrakurikuler di tempat ia mengajar. Meskipun kimia adalah mata pelajaran utama yang ia ampu, kecintaannya pada budaya Dayak mengobarkan semangatnya untuk memajukan sanggar. Pada saat itu murid yang mengikuti kegiatan sanggar hanya sekedar menyediakan pelatihan tari saja karena keterbatasan sekolah dalam menyediakan peralatan. Akibatnya, para penari sanggar belum mampu untuk tampil optimal di depan umum. Dari sinilah muncul pemikiran Bu Murti bahwa diperlukan usaha lain untuk dapat ikut menyokong keterbatasan fasilitas ini, supaya kreativitas murid dapat terus berkembang.
(Bersama Tim SMAN 1 Kahayan Hilir pada Pawai Budaya HUT RI ke 74 Tahun 2019)
Perempuan Dayak ini yakin bahwa setiap siswa pasti memiliki keinginan, mimpi dan bakat yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, Bu Murti turun tangan dengan merintis penyewaan baju adat tari untuk sanggar sekolah. Dalam waktu tiga tahun, secara bertahap, keperluan tari murid SMAN 1 Kahayan Hilir mulai terpenuhi. Bu Murti tak ragu untuk berkreasi menciptakan kostum tari, mulai dari baju adat yang didesain, diberi payet, hingga proses penjahitan. Beberapa kostum bahkan dijahit sendiri olehnya. Sedikit demi sedikit, keperluan alat dan kostum tari Sanggar “Antang Tabela“ dapat terpenuhi.
“Akhirnya waktu perlombaan MTQ tingkat kecamatan dulu, apapun jenis tariannya, pesisir maupun pedalaman, apakah penari itu berhijab atau tidak, Ibu dapat menyediakan kostumnya,“ ungkap Bu Murti sambil mengenang tahun-tahun tersebut. Ia juga menambahkan, “walaupun jika dibandingkan dengan sanggar besar, kostum kita belum seberapa, tapi paling tidak, Ibu bisa membantu memfasilitasi kostum tari untuk murid SMAN 1 Kahayan Hilir, supaya mereka tidak rendah diri, tidak malu, dan percaya diri bahwa mereka juga mampu seperti yang lainnya.“ Menurutnya, yang paling penting adalah para siswa yang menjadi anggota Sanggar Antang Tabela bisa menumbuhkan percaya dirinya dan menyadari bahwa bakat menari yang dimilikinya itu belum tentu dimiliki orang lain. “Jangan sampai anak sanggar kita terhambat talentanya hanya karena tidak memiliki kostum tari,“ ujarnya.
Untaian payet pada kostum tari Bu Murti ini menyimpan banyak cerita. Tidak hanya kisah-kisah pertunjukan tetapi juga perjalanan kehidupan. Suatu kali, salah satu siswi yang bernama Fitri mengalami kecelakaan bersama ayahnya. Setelah kecelakaan motor itu terjadi, ayah Fitri mengalami patah kaki dan Fitri tak lagi hadir ke sekolah. Kabar malang itu sampai pula ke telinga Bu Murti. Ia pun menemui Fitri dan memberikan semangat agar terus melanjutkan sekolah. Sebagaimana filosofi yang berbunyi “berilah kail, bukan ikan“, Bu Murti berinisiatif untuk mengajak Fitri membantu pembuatan kostumnya. “Baju Ibu itu masih polosan dan belum diberi payet, kalau Fitri mau memayetkan baju itu, nanti Ibu gambar, Ibu tandai dan Ibu sediakan manik-maniknya. Jadi, Ibu akan ajarkan Fitri cara memayetnya.” kenang Bu Murti sambil menatap koleksi kostum yang tergantung di lemari.
Seiring berjalannya waktu, Fitri dapat memenuhi keperluan sekolahnya dari keterampilannya memayet baju tari. Namun, kegiatan sekolah Fitri yang semakin padat membuat Fitri tidak lagi sempat melanjutkan usahanya memayetkan baju tari dan kostum adat Dayak. Akhirnya, pekerjaan itu dilanjutkan oleh ayahnya yang pada saat itu belum memiliki pekerjaan. Jadilah selama tiga tahun berjalan, baju-baju adat Dayak kreasi Bu Murti dijahit dan diberi payet oleh ayah Fitri. Namun, pada Oktober 2019 lalu ayah Fitri meninggal dunia, sehingga tak lagi ada orang yang bekerja membantu pembuatan baju adat Dayak kreasi Bu Murti tersebut.
Kostum tari kreasi Bu Murti ini menjadi saksi bisu perannya dalam sanggar Dayak “Antang Tabela” SMAN 1 Kahayan Hilir. Lewat tangan terampilnya, ia mendampingi para siswa SMAN 1 Kahayan Hilir untuk terus berkarya dan mengembangkan bakat. Usahanya ini berbuah manis ketika dua siswi berhasil meraih peringkat terbaik ketiga dalam lomba FLS2N Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah untuk bidang tari kreasi. Bagi Bu Murti, segala sesuatu harus dikerjakan dengan totalitas penuh. Guru yang juga pecinta anggrek ini dengan senang hati membantu para peserta didik untuk mengembangkan talentanya. Di samping itu, ia juga dengan sekuat tenaga berusaha melestarikan budaya Dayak yang merupakan akar identitasnya. Dukungan semangat, waktu, tenaga dan pikiran tak segan ia curahkan agar dapat melihat murid-murid dapat maju dan berkembang.
Kebahagiaan yang muncul ketika berhasil membantu anak-anak mewujudkan talenta yang mereka punya inilah yang membuat Bu Murti terus berkreasi dengan kostum tarinya. “Ketika anak-anak bisa menunjukkan bakatnya, perasaan bahagia yang datang itu tidak bisa dijelaskan,“ ungkap Bu Murti. Lewat kegiatannya ini, ia merasa profesinya sebagai seorang guru adalah pekerjaan yang istimewa. “Tidak semua orang mampu dan mau mendukung mimpi para siswa dengan segala kelebihan serta kekurangan mereka,“ tuturnya pelan.
Dari kisah Bu Murti harapannya bisa mengubah pola pikir masyarakat Indonesia bahwa jangan sampai budaya mati dan tertinggal. Semestinya ada seseorang yang berjuang untuk melestarikan budayanya dengan mengoptimalkan jalan apapun yang dimiliki misalnya lewat profesi. Seiring berkembangnya peradaban, jangan sampai budaya negeri memudar karena lagi ada penerus. Hebatnya Indonesia dengan berbagai macam budaya harus terus terjalin bersamaan dengan mimpi generasi mudanya di tengah arus perkembangan zaman. (Ymg).
Jadilah yang pertama berkomentar di sini